Senin, 03 Oktober 2016

PEMIMPIN DAN SYAHWAT POLITIK

Pemimpin dan Syahwat Politik

Oleh Syofyan
Dosen Universitas Andalas

(telah diterbitkan pada halaman OPINI di koran Singgalang, Senen, 4 Oktober 2016)

Berbagai fenomena pemilihan pemimpin (pejabat) baik sebagai pemimpin formal maupun non formal seringkali menjadi isu penting dan hangat untuk dibicarakan. Baik dikalangan masyarakat awam, akedemisi apalagi dikalangan politisi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jabatan atau tahta (kekuasaan) mungkin sudah menjadi magnet bagi setiap orang bahkan diidam-idamkan oleh kebanyakan orang, disamping harta tentunya. Kadang-kadang antara jabatan dan harta, keduanya ibarat sisi mata uang yang saling terkait satu sama lain. Bahkan ada ungkapan umum yang kita dengar yang sudah menjadi pameo di tengah masyarakat, bahwa dengan jabatan orang bisa menjadi kaya atau sebaliknya seseorang harus “kaya” dulu baru bisa dapat jabatan.
Pada hakekatnya, masing-masing kita terlahir sebagai pemimpin minimal sebagai pemimpin bagi diri kita sendiri. Bakat sebagai pemimpin bisa terlihat baik mulai dari sejak kecil atau baru bisa terlihat ketika sudah dewasa. Dalam berbagai literatur tetang kepemimpinan, disebutkan bahwa secara umum munculnya pemimpin dikemukakan dalam beberapa teori.
Teori pertama, menyatakan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk menjadi pemimpin karena ia mempunyai bakat dan pembawaan untuk menjadi pemimpin (leaders are borned not built). Teori ini menyatakan bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, hanya orang-orang yang mempunyai bakat dan pembawaan saja yang bisa menjadi pemimpin.
Teori kedua bertolak belakang dengan teori yang pertama, dimana seseorang akan menjadi pemimpin kalau lingkungan, waktu atau keadaan memungkinkan ia menjadi pemimpin. Menurut teori ini, setiap orang bisa jadi pemimpin asal diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin walaupun ia tidak mempunyai bakat atau pembawaan (leaders are built, not borned). Teori inilah yang banyak terjadi di lapangan saat ini. Siapa yang dapat menyangka bahwa seorang Jokowi yang notabene dari rakyat biasa bisa menjadi seorang Presiden.
Ada juga teori lain yang disebut dengan teori situasi. Teori ini menyatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin, tetapi dalam situasi tertentu saja, karena ia mempunyai kelebihan-kelebihan yang diperlukan dalam situasi itu. Dalam situasi lain dimana kelebihan-kelebihannya itu tidak diperlukan, ia tidak akan menjadi pemimpin, bahkan mungkin hanya menjadi pengikut saja.
Syahwat Politik
Berbicara tentang masalah kepemimpinan seringkali identik dengan persoalan jabatan publik baik dalam penyelenggaraan negara (pemerintahan) maupun dalam penyelenggaraan organisasi politik (partai politik) itu sendiri. Pemimpin yang menjadi pejabat publik secara tidak langsung akan menjadi sorotan masyarakat baik terkait kinerja maupun perilaku yang bersangkutan. Berbagai fenomena kinerja dan perilaku pemimpin publik telah menjadi catatan penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini pasca reformasi, baik dari sisi positif maupun negatif.
Dari sisi positif, seperti fenomena lahirnya pemimpin sederhana yang dicintai oleh rakyatnya, sebut saja yang fenomenal seperti Risma (Walikota Surabaya) dan Ridwan Kamil (Walikota Bandung). Para pemimpin ini bekerja memang untuk rakyat dan selalu dekat dengan denyut nadi kehidupan rakyat sehingga merasakan langsung susahnya jadi rakyat jelata tanpa aturan protokoler. Begitu juga fenomena lahirnya pemimpin dari kalangan muda seperti Zumi Zola (Gubernur Jambi) dan Sutan Riska (Bupati Dharmasraya).
Sebaliknya, banyak juga sisi negatif yang tercatat akibat dari kinerja dan perilaku pemimpin yang kurang baik. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa antara jabatan dengan harta adalah dua hal yang saling berdekatan dan bahkan bisa menjebak para pemimpin (pejabat). Sudah banyak pejabat publik yang terperangkap dengan godaan harta tersebut sehingga menjadi tersangka dalam kasus korupsi mulai dari pejabat lembaga tinggi negara hingga kepada pejabat paling bawah sekalipun. Sebut saja seperti Akil Mochtar (mantan Ketua MK), Ratu Atut (mantan Gubernur Banten) hingga yang terhangat sekarang adalah yang melibatkan Ketua DPD RI, Irman Gusman.  
Kedua fenomena di atas merupakan contoh dari apa yang disebut dengan syahwat politik. Setiap pemimpin publik mesti memiliki syahwat politik, karena syahwat politik merupakan keinginan yang luar biasa dari seseorang untuk menggapai ambisinya terutama untuk kepentingan umum (masyarakat). Syahwat politik ini akan menjadi energi positif jika dikelola dengan baik seperti halnya apa yang dilakukan oleh Risma dan Ridwan Kamit. Sebaliknya, syahwat politik akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik, misalnya pada kasus Akil, Atut dan pejabat yang terjerat kasus korupsi lainnya. Syahwat politik negatif ini juga menunjukkan adanya kepentingan dan ambisi pribadi yang lebih besar dari pemimpin tersebut, yang mengalahkan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya. 
Fenomena pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai daerah baik tingkat kota/kabupaten ataupun provinsi seringkali melahirkan syahwat politik seseorang. Misalnya, keinginan untuk menjabat untuk yang kedua kalinya setelah satu periode masa bakti berakhir, keinginan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, misalnya dari mantan bupati atau walikota menjadi calon gubernur, atau malah sebaliknya dari jabatan tertinggi ke jabatan yang lebih rendah seperti dari mantan menteri menjadi calon gubernur atau bahkan menjadi calon walikota, meskipun dari aspek perundang-undangan dibolehkan.
Kasus terkini yang menjadi tontonan menarik dan hangat sebagai contoh fenomena syahwat politik adalah adalah ajang Pilkada DKI Jakarta yang memiliki magnet yang paling besar dibandingkan ajang serupa di daerah lain, karena disamping sebagai ibukota negara RI, Jakarta juga merupakan barometer Indonesia. Banyak kejutan yang diluar dugaan dari calon yang diusung oleh partai politik, yang akhirnya mengerucut pada tiga pasang calon. Masing-masing memiliki kans yang besar untuk memenangi kontes “DKI Idol” ini. Selain itu, kontes ini juga telah mengeliminasi beberapa calon yang notabene adalah beberapa tokoh nasional.
Terlepas dari itu semua, siapa pun yang sudah mengikrarkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin (pejabat publik) baik baru pada sampai bakal calon (balon) atau calon, harus memiliki semangat membangun daerah atau negara ini, yang diwujudkan dengan aksi yang nyata dan bukan hanya sekedar retorika dan juga bukan hanya karena akan mencalonkan diri sebagai balon ataupun calon dalam sebuah “alek besar” yang bernama Pilkada ataupun Pemilu. Semangat itu haruslah tumbuh dari hati yang paling dalam yang dilandasi oleh niat yang ikhlas dan totalitas.
Kenyataannya memang banyak kita saksikan, bahwa ketika mendekati ajang Pilkada atau Pemilu, betapa banyak terlahir para calon pemimpin yang awalnya bertekat akan membangun masyarakat, tapi ketika tidak terpilih mereka itu sekaan-akan hilang pula ditelan bumi dan parahnya mereka itu juga seperti tak pernah kenal dengan masyarakat kecil lagi sebagaimana dulunya janji mereka. Bahkan mereka mundur secara perlahan bahkan drastis dari panggung kehidupan sosial masyarakat hingga sekurang-kurangnya menunggu sampai jelang siklus lima tahun berikutnya.
Inilah faktanya, bahwa syahwat politik yang besar dari para calon pemimpin yang maju baik sebagai balon maupun sebagai calon dalam ajang Pilkada atau Pemilu kebanyakan hanyalah untuk urusan kepentingan pribadi saja dan bukan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Fenomena inilah yang tidak kita harapkan sama sekali. Seyogyanya, setiap pemimpin yang menjadi balon atau calon menjadikan Pilkada ataupun Pemilu ini hanya sebagai ajang kompetisi semata untuk mengukur tingkat penerimaan masyarakat terhadap diri sendiri. Kalah atau menang atau tidak terpilih, tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk “patah arang” atau ‘patah hati” untuk membangun masyarakat sendiri sebagaimana niat awal yang telah diikrarkan.
Untuk itu, niat tulus untuk membangun bangsa dan negara inilah yang sangat kita harapkan. Jadi pemimpin bukanlah satu-satunya cara untuk bisa membangun bangsa dan negara ini. Justru dalam posisi dan keadaan bagaimanapun pun kita harus tetap merasa terpanggil untuk membangun bangsa dan negara tercinta ini secara terus menerus dan berkelanjutan. Jadilah seorang pemimpin sejati yang memiliki syahwat politik positif dengan mengedepankan naluri kepemimpinan untuk orang banyak dan sebaliknya meninggalkan syahwat politik negatif yang hanya bersifat semu dan sesaat.