Mengajar di Fakultas Farmasi Unversitas Andalas, Praktisi sebagai Apoteker dan Aktif di Komunitas APOTEKR
Rabu, 05 Oktober 2016
Senin, 03 Oktober 2016
PEMIMPIN DAN SYAHWAT POLITIK
Pemimpin dan Syahwat Politik
Oleh Syofyan
Dosen Universitas Andalas
(telah diterbitkan pada halaman OPINI di koran Singgalang, Senen, 4 Oktober 2016)
Berbagai fenomena pemilihan pemimpin (pejabat) baik sebagai pemimpin formal
maupun non formal seringkali menjadi isu penting dan hangat untuk dibicarakan.
Baik dikalangan masyarakat awam, akedemisi apalagi dikalangan politisi. Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa jabatan atau tahta (kekuasaan) mungkin sudah menjadi
magnet bagi setiap orang bahkan diidam-idamkan oleh kebanyakan orang, disamping
harta tentunya. Kadang-kadang antara jabatan dan harta, keduanya ibarat sisi
mata uang yang saling terkait satu sama lain. Bahkan ada ungkapan umum yang
kita dengar yang sudah menjadi pameo di tengah masyarakat, bahwa dengan jabatan
orang bisa menjadi kaya atau sebaliknya seseorang harus “kaya” dulu baru bisa
dapat jabatan.
Pada hakekatnya, masing-masing kita terlahir sebagai pemimpin minimal
sebagai pemimpin bagi diri kita sendiri. Bakat sebagai pemimpin bisa terlihat
baik mulai dari sejak kecil atau baru bisa terlihat ketika sudah dewasa. Dalam
berbagai literatur tetang kepemimpinan, disebutkan bahwa secara umum munculnya pemimpin dikemukakan dalam beberapa teori.
Teori
pertama, menyatakan
bahwa seseorang akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk menjadi
pemimpin karena ia mempunyai bakat dan pembawaan untuk menjadi pemimpin (leaders are borned not built). Teori ini menyatakan bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin,
hanya orang-orang yang mempunyai bakat dan pembawaan saja yang bisa menjadi
pemimpin.
Teori
kedua
bertolak belakang dengan teori yang pertama, dimana seseorang akan menjadi pemimpin kalau
lingkungan, waktu atau keadaan memungkinkan ia menjadi pemimpin. Menurut teori ini, setiap orang bisa jadi pemimpin asal diberi kesempatan untuk
menjadi pemimpin walaupun ia tidak mempunyai bakat atau pembawaan (leaders are built, not borned). Teori inilah yang banyak terjadi di lapangan saat ini.
Siapa yang dapat menyangka bahwa seorang Jokowi yang notabene dari rakyat biasa
bisa menjadi seorang Presiden.
Ada juga teori
lain
yang disebut dengan teori situasi. Teori ini menyatakan bahwa setiap orang bisa menjadi
pemimpin, tetapi dalam situasi tertentu saja, karena ia mempunyai kelebihan-kelebihan yang diperlukan
dalam situasi itu. Dalam situasi lain dimana kelebihan-kelebihannya itu tidak
diperlukan, ia tidak akan menjadi pemimpin, bahkan mungkin hanya menjadi
pengikut saja.
Syahwat
Politik
Berbicara tentang masalah
kepemimpinan seringkali identik dengan persoalan jabatan publik baik dalam
penyelenggaraan negara (pemerintahan) maupun dalam penyelenggaraan organisasi
politik (partai politik) itu sendiri. Pemimpin yang menjadi pejabat publik secara
tidak langsung akan menjadi sorotan masyarakat baik terkait kinerja maupun
perilaku yang bersangkutan. Berbagai fenomena kinerja dan perilaku pemimpin publik
telah menjadi catatan penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini pasca
reformasi, baik dari sisi positif maupun negatif.
Dari sisi positif, seperti
fenomena lahirnya pemimpin sederhana yang dicintai oleh rakyatnya, sebut saja
yang fenomenal seperti Risma (Walikota Surabaya) dan Ridwan Kamil (Walikota
Bandung). Para pemimpin ini bekerja
memang untuk rakyat dan selalu dekat dengan denyut nadi
kehidupan rakyat sehingga merasakan langsung susahnya jadi rakyat jelata tanpa
aturan protokoler. Begitu juga fenomena lahirnya pemimpin dari kalangan muda seperti Zumi Zola
(Gubernur Jambi) dan Sutan Riska (Bupati Dharmasraya).
Sebaliknya, banyak juga
sisi negatif yang tercatat akibat dari kinerja dan perilaku pemimpin yang
kurang baik. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa antara jabatan dengan
harta adalah dua hal yang saling berdekatan dan bahkan bisa menjebak para
pemimpin (pejabat). Sudah banyak pejabat publik yang terperangkap dengan godaan
harta tersebut sehingga menjadi tersangka dalam kasus korupsi mulai dari
pejabat lembaga tinggi negara hingga kepada pejabat paling bawah sekalipun.
Sebut saja seperti Akil Mochtar (mantan Ketua MK), Ratu Atut (mantan Gubernur
Banten) hingga yang terhangat sekarang adalah yang melibatkan Ketua DPD RI,
Irman Gusman.
Kedua fenomena di atas
merupakan contoh dari apa yang disebut dengan syahwat politik. Setiap pemimpin
publik mesti memiliki syahwat politik, karena syahwat politik merupakan
keinginan yang luar biasa dari seseorang untuk menggapai ambisinya terutama
untuk kepentingan umum (masyarakat). Syahwat politik ini akan menjadi energi
positif jika dikelola dengan baik seperti halnya apa yang dilakukan oleh Risma
dan Ridwan Kamit. Sebaliknya, syahwat politik akan berdampak negatif jika tidak
dikelola dengan baik, misalnya pada kasus Akil, Atut dan pejabat yang terjerat
kasus korupsi lainnya. Syahwat politik negatif ini juga menunjukkan adanya kepentingan dan ambisi pribadi yang lebih
besar dari pemimpin tersebut, yang mengalahkan kepentingan masyarakat yang
dipimpinnya.
Fenomena pemilihan kepala daerah (pilkada) di
berbagai daerah baik tingkat kota/kabupaten ataupun provinsi seringkali
melahirkan syahwat politik seseorang. Misalnya, keinginan untuk menjabat untuk
yang kedua kalinya setelah satu periode masa bakti berakhir, keinginan untuk menduduki
jabatan yang lebih tinggi, misalnya dari mantan bupati atau walikota menjadi calon
gubernur, atau malah sebaliknya dari jabatan tertinggi ke jabatan yang lebih
rendah seperti dari mantan menteri menjadi calon gubernur atau bahkan menjadi calon
walikota, meskipun dari aspek perundang-undangan dibolehkan.
Kasus terkini yang menjadi tontonan menarik dan hangat sebagai contoh
fenomena syahwat politik adalah adalah ajang Pilkada DKI Jakarta yang memiliki
magnet yang paling besar dibandingkan ajang serupa di daerah lain, karena disamping
sebagai ibukota negara RI, Jakarta juga merupakan barometer Indonesia. Banyak
kejutan yang diluar dugaan dari calon yang diusung oleh partai politik, yang
akhirnya mengerucut pada tiga pasang calon. Masing-masing memiliki kans yang
besar untuk memenangi kontes “DKI Idol”
ini. Selain itu, kontes ini juga telah mengeliminasi beberapa calon yang
notabene adalah beberapa tokoh nasional.
Terlepas dari itu semua,
siapa pun yang sudah mengikrarkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin
(pejabat publik) baik baru pada sampai bakal calon (balon) atau calon, harus
memiliki semangat membangun daerah atau negara ini, yang diwujudkan dengan aksi
yang nyata dan bukan hanya sekedar retorika dan juga bukan hanya karena akan
mencalonkan diri sebagai balon ataupun calon dalam sebuah “alek besar” yang
bernama Pilkada ataupun Pemilu. Semangat itu haruslah tumbuh dari hati yang
paling dalam yang dilandasi oleh niat yang ikhlas dan totalitas.
Kenyataannya memang banyak
kita saksikan, bahwa ketika mendekati ajang Pilkada atau Pemilu, betapa banyak
terlahir para calon pemimpin yang awalnya bertekat akan membangun masyarakat,
tapi ketika tidak terpilih mereka itu sekaan-akan hilang pula ditelan bumi dan
parahnya mereka itu juga seperti tak pernah kenal dengan masyarakat kecil lagi
sebagaimana dulunya janji mereka. Bahkan mereka mundur secara perlahan bahkan
drastis dari panggung kehidupan sosial masyarakat hingga sekurang-kurangnya
menunggu sampai jelang siklus lima tahun berikutnya.
Inilah faktanya, bahwa syahwat
politik yang besar dari para calon pemimpin yang maju baik sebagai balon maupun
sebagai calon dalam ajang Pilkada atau Pemilu kebanyakan hanyalah untuk urusan
kepentingan pribadi saja dan bukan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Fenomena inilah yang tidak
kita harapkan sama sekali. Seyogyanya, setiap pemimpin yang menjadi balon atau
calon menjadikan Pilkada ataupun Pemilu ini hanya sebagai ajang kompetisi semata
untuk mengukur tingkat penerimaan masyarakat terhadap diri sendiri. Kalah atau
menang atau tidak terpilih, tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk “patah
arang” atau ‘patah hati” untuk membangun masyarakat sendiri sebagaimana niat
awal yang telah diikrarkan.
Untuk itu, niat tulus
untuk membangun bangsa dan negara inilah yang sangat kita harapkan. Jadi
pemimpin bukanlah satu-satunya cara untuk bisa membangun bangsa dan negara ini.
Justru dalam posisi dan keadaan bagaimanapun pun kita harus tetap merasa
terpanggil untuk membangun bangsa dan negara tercinta ini secara terus menerus
dan berkelanjutan. Jadilah seorang pemimpin sejati yang memiliki syahwat
politik positif dengan mengedepankan naluri kepemimpinan untuk orang banyak dan
sebaliknya meninggalkan syahwat politik negatif yang hanya bersifat semu dan
sesaat.
Langganan:
Postingan (Atom)