Selasa, 19 Desember 2017

Pemimpin Seremoni

Pemimpin Seremoni

Oleh Syofyan
Dosen Fakultas Farmasi Unand

Sudah menjadi hal yang lumrah kita lihat, disetiap kegiatan pejabat senantiasa bergelimang dengan hal-hal yang berbau seremoni. Misalnya, ketika acara pelantikan pejabat (apalagi kepala daerah), kunjungan pejabat ke suatu daerah, upacara peringatan hari-hari besar sampai ke acara keagamaan. Semuanya tidak terlepas dari aturan protokoler yang sangat ketat sehingga terkadang membuat jauh antara pejabat (pemimpin) dengan rakyat badarai.
Lihat saja, betapa meriahnya acara pelantikan seorang kepala daerah yang dihadiri oleh undangan tertentu yang nota bene tentu juga hanya pejabat atau kaum kerabat terdekat. Sementara rakyat kecil semisal tukang bangunan, kuli di pasar, dan masih banyak lainnya mungkin hanya dapat bermimpi untuk bisa menghadiri acara tersebut. Padahal mungkin karena mereka rakyat kecil inilah makanya sang pemimpin itu dapat dilantik menjadi kepala daerah. Sebaliknya mereka yang datang menghadiri sebagai undangan yang berpakai jas dan berdasi belum tentu orang yang mendukung sang pemimpin tadi.
Besoknya setelah pelantikan atau bahkan pada hari pelantikan itu, telah bertaburan ucapan selamat diberbagai koran baik lokal maupun nasional. Belum lagi sederet karangan bunga yang memenuhi ruangan sampai bahkan tumpah ke jalan. Semua berlomba-lomba menyampaikan ucapan selamat. Kita tidak tahu, apakah memang sang pemimpin sempat membaca ucapan selamat itu. Kalau hanya ucapan selamat, kenapa tidak lewat komunikasi via telpon atau minimal lewat sms saja. Lagi-lagi, berapa banyak uang yang dihamburkan hanya untuk sekedar ucapan selamat ini.
Saya jadi teringat prosesi pelantikan Barack Obama sebagai Presiden AS yang kelihatannya sangat sederhana jauh dari kesan seremonial, yang berlangsung dihadapan rakyat banyak. Kita tentu sangat merindukan hal itu terjadi, sehingga kedekatan antara sang pemimpin ketika waktu masih kampanye dengan rakyat tetap terjaga bukannya malah seperti seolah-olah telah melupakan rakyat yang mendukungnya tanpa pamrih.
Lihat juga misalnya, ketika upacara dilakukan di suatu lapangan terbuka. Sudah menjadi kebiasaan bahwa peserta upacara terutama para siswa sekolah mulai dari sekolah dasar sampai menengah, akan rela berpanas-panasan kena teriknya matahari hanya sekedar untuk mengikuti upacara bahkan sudah berdiri lama di lapangan hanya untuk sekedar persiapan upacara dimulai sambil menunggu sang pemimpin datang. Sementara sang pemimpin yang biasanya datang belakangan dan undangan VIP lainnya lagi-lagi akan mendapat fasilitas tempat duduk di bawah tenda, mendapat makanan, bahkan sampai diberi udara pendingin. Kenapa tidak dibiasakan semua undangan tidak terkecuali para pejabat penting untuk berbaris juga di lapangan seperti halnya peserta upacara biasa, biar kita sama-sama menikmati teriknya matahari sehingga terasa suatu kebersamaan.
Begitu juga dengan acara penyambutan seorang pejabat ketika mengunjungi suatu daerah misalnya. Berbagai persiapan jauh hari telah dilakukan mulai dari latihan tari penyambutan, pemasangan tenda dan makanan yang enak-enak buat tamu. Bahkan untuk menginap, sudah disiapkan tempat seperti hotel dengan fasilitas yang cukup mewah. Hal ini jelas menguras banyak biaya, energi dan lain sebagainya. Untuk hal yang satu ini, saya jadi teringat dengan sikap seorang Dede Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Barat, yang ketika berkunjung ke suatu daerah lebih memilih tinggal di rumah penduduk ketimbang di hotel mewah, karena alasan agar dekat dengan rakyat. Bagaimana dengan pemimpin kita di Sumatera Barat ini?
Itulah negeri seremoni, suatu negeri dimana kita baik pemimpin maupun rakyat lebih dibuai oleh hal-hal yang berbau seremonial seperti hal yang disebut di atas. Ini sudah menjadi fenomena lazim yang jika ditinggalkan malah dianggap aneh. Aturan protokoler sepertinya secara tidak langsung telah membuat sang pemimpin jauh dari rakyatnya.
Kita tentu masih ingat, ketika sang pemimpim belum jadi pejabat, misalnya pada waktu kampanye, sang pemimpin selalu rela berpanas-panasan untuk menemui rakyat ke pelosok-pelosok desa sampai ke tengah-tengah pasar. Di sana tidak pernah ada protokoler yang mewajibkan sang calon untuk begini begitunya. Antara rakyat dan sang pemimpin justru sangat dekat. Tak jarang, sang pemimpin mau duduk dilantai, makan ditempat yang terbuka seperti dilapau, mau mengendarai sepeda motor, rajin menghadiri pesta pernikahan bahkan tidak lupa pula bertakziah ke rumah duka.
Pelantikan kepala daerah baik Bupati/Walikota maupun Gubernur beserta wakilnya kemaren ini juga menjadi cermin bagaimana seremoni ini tidak terlepas dari birokrat kita ini. Ini perlu menjadi catatan bagi kita agar kedepannya hal-hal yang berbau seremoni ini secara perlahan kita tinggalkan. Rakyat sangat merindukan pemimpinnya dekat dengan rakyat tanpa batasan-batasan oleh aturan protokoler. Semuanya tentu kembali kepada kita semua. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang bekerja untuk rakyat dan selalu dekat dengan denyut nadi kehidupan rakyat sehingga merasakan langsung susahnya jadi rakyat jelata tanpa aturan seremoni. Terus terang, kita memang tidak perlu pemimpin seremoni seperti ini. Semoga.