Pemimpin
Seremoni
Oleh Syofyan
Dosen Fakultas Farmasi Unand
Sudah menjadi hal
yang lumrah kita lihat, disetiap kegiatan pejabat senantiasa bergelimang dengan
hal-hal yang berbau seremoni. Misalnya, ketika acara pelantikan pejabat
(apalagi kepala daerah), kunjungan pejabat ke suatu daerah, upacara peringatan
hari-hari besar sampai ke acara keagamaan. Semuanya tidak terlepas dari aturan protokoler
yang sangat ketat sehingga terkadang membuat jauh antara pejabat (pemimpin)
dengan rakyat badarai.
Lihat saja, betapa
meriahnya acara pelantikan seorang kepala daerah yang dihadiri oleh undangan
tertentu yang nota bene tentu juga hanya pejabat atau kaum kerabat terdekat.
Sementara rakyat kecil semisal tukang bangunan, kuli di pasar, dan masih banyak
lainnya mungkin hanya dapat bermimpi untuk bisa menghadiri acara tersebut. Padahal
mungkin karena mereka rakyat kecil inilah makanya sang pemimpin itu dapat
dilantik menjadi kepala daerah. Sebaliknya mereka yang datang menghadiri
sebagai undangan yang berpakai jas dan berdasi belum tentu orang yang mendukung
sang pemimpin tadi.
Besoknya setelah
pelantikan atau bahkan pada hari pelantikan itu, telah bertaburan ucapan
selamat diberbagai koran baik lokal maupun nasional. Belum lagi sederet
karangan bunga yang memenuhi ruangan sampai bahkan tumpah ke jalan. Semua
berlomba-lomba menyampaikan ucapan selamat. Kita tidak tahu, apakah memang sang pemimpin
sempat membaca ucapan selamat itu. Kalau hanya ucapan selamat, kenapa tidak
lewat komunikasi via telpon atau minimal lewat sms saja. Lagi-lagi, berapa banyak uang yang dihamburkan
hanya untuk sekedar ucapan selamat ini.
Saya jadi teringat
prosesi pelantikan Barack Obama sebagai Presiden AS yang kelihatannya sangat
sederhana jauh dari kesan seremonial, yang berlangsung dihadapan rakyat banyak.
Kita tentu sangat merindukan
hal itu terjadi, sehingga kedekatan antara sang pemimpin ketika waktu masih
kampanye dengan rakyat tetap terjaga bukannya malah seperti seolah-olah telah
melupakan rakyat yang mendukungnya tanpa pamrih.
Lihat juga misalnya,
ketika upacara dilakukan di suatu lapangan terbuka. Sudah menjadi kebiasaan
bahwa peserta upacara terutama para siswa sekolah mulai dari sekolah dasar
sampai menengah, akan rela berpanas-panasan kena teriknya matahari hanya
sekedar untuk mengikuti upacara bahkan sudah berdiri lama di lapangan hanya
untuk sekedar persiapan upacara dimulai sambil menunggu sang pemimpin datang. Sementara
sang pemimpin yang biasanya datang belakangan dan undangan VIP lainnya
lagi-lagi akan mendapat fasilitas tempat duduk di bawah tenda, mendapat
makanan, bahkan sampai diberi udara pendingin. Kenapa tidak dibiasakan semua
undangan tidak terkecuali para pejabat penting untuk berbaris juga di lapangan
seperti halnya peserta upacara biasa, biar kita sama-sama menikmati teriknya
matahari sehingga terasa suatu kebersamaan.
Begitu juga dengan
acara penyambutan seorang pejabat ketika mengunjungi suatu daerah misalnya. Berbagai persiapan jauh hari telah
dilakukan mulai dari latihan tari penyambutan, pemasangan tenda dan makanan yang
enak-enak buat tamu. Bahkan untuk menginap, sudah disiapkan tempat seperti
hotel dengan fasilitas yang cukup mewah. Hal ini jelas menguras banyak biaya,
energi dan lain sebagainya. Untuk hal yang satu ini, saya jadi teringat dengan
sikap seorang Dede Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Barat, yang ketika berkunjung ke
suatu daerah lebih memilih tinggal di rumah penduduk ketimbang di hotel mewah,
karena alasan agar dekat dengan rakyat. Bagaimana dengan pemimpin kita di
Sumatera Barat ini?
Itulah negeri
seremoni, suatu negeri dimana kita baik pemimpin maupun rakyat lebih dibuai
oleh hal-hal yang berbau seremonial seperti hal yang disebut di atas. Ini sudah
menjadi fenomena lazim yang jika ditinggalkan malah dianggap aneh. Aturan
protokoler sepertinya secara tidak langsung telah membuat sang pemimpin jauh
dari rakyatnya.
Kita tentu masih
ingat, ketika sang pemimpim belum jadi pejabat, misalnya pada waktu kampanye,
sang pemimpin selalu rela berpanas-panasan untuk menemui rakyat ke pelosok-pelosok
desa sampai ke tengah-tengah pasar. Di sana tidak pernah ada protokoler yang
mewajibkan sang calon untuk begini begitunya. Antara rakyat dan sang pemimpin
justru sangat dekat. Tak jarang, sang pemimpin mau duduk dilantai, makan
ditempat yang terbuka seperti dilapau, mau mengendarai sepeda motor, rajin
menghadiri pesta pernikahan bahkan tidak lupa pula bertakziah ke rumah duka.
Pelantikan kepala
daerah baik Bupati/Walikota maupun Gubernur beserta wakilnya kemaren ini juga
menjadi cermin bagaimana seremoni ini tidak terlepas dari birokrat kita ini.
Ini perlu menjadi catatan bagi kita agar kedepannya hal-hal yang berbau
seremoni ini secara perlahan kita tinggalkan. Rakyat sangat merindukan
pemimpinnya dekat dengan rakyat tanpa batasan-batasan oleh aturan protokoler. Semuanya
tentu kembali kepada kita semua. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang
bekerja untuk rakyat dan selalu dekat dengan denyut nadi kehidupan rakyat
sehingga merasakan langsung susahnya jadi rakyat jelata tanpa aturan seremoni. Terus
terang, kita memang tidak perlu pemimpin seremoni seperti ini. Semoga.