OBAT
BERMEREK BUKAN BERARTI OBAT PATEN
(Syofyan,
Dosen Fakultas Farmasi Unand)
“
Program Jamkesmas tujuan utamanya membebaskan pasien miskin dari segala bentuk
biaya pelayanan dan pengobatan. Jika pada kasus tertentu pasien harus
menggunakan obat di luar pedoman Jamkesmas, pihak rumah sakit tetap menyediakan
obat tersebut. …hanya saja penggunaan obat paten tersebut berdasarkan kebutuhan
pasien yang diresepkan dokter….“
“…banyak
masyarakat yang tidak mengetahui banyak obat paten yang bisa ditukar dengan
obat generik….” (Padang Ekpres, 4 Maret
2010, hal. 15).
Jika dibaca
sekilas, memang tidak ada yang salah dari penggalan pernyataan yang diungkapkan
oleh narasumber yang menjelaskan tentang Jamkesmas dan ketersediaan obat generik ini. Namun
jika dipahami secara keseluruhan dari konteks pernyataan di atas, sebenarnya ada sesuatu yang keliru disini yaitu
menyangkut penggunaan istilah “obat paten”. Kelihatannya memang sepele, tapi
mempunyai dampak luar biasa terutama bagi masyarakat awam. Lantas apa yang salah
dengan istilah “obat paten” ini?
Secara umum,
obat dikelompokkan ke dalam dua kategori
yaitu obat
paten dan obat generik. Obat
paten/innovator, yaitu obat dengan zat aktif pertama ditemukan oleh
suatu industri farmasi. Obat ini dilindungi oleh hak paten sampai masa patennya
expired. Menurut ketentuan
perundang-undangan, obat paten yang sudah habis masa berlakunya dinyatakan
sebagai obat generik. Obat generik biasanya menggunakan tata nama resmi kimia
dari Farmakope dan ini disebut obat generik, contohnya
Amoxicillin dari Indofama, Kimia Farma dan Phapros. Untuk
menyatakan bahwa obat generik tersebut diproduksi oleh pabrik obat yang sudah
mendapatkan sertifikat Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) maka dalam
penandaannya diberi logo khusus. Logo ini sekaligus menyatakan bahwa obat
tersebut sudah terjamin mutunya. Obat generik seperti ini sering disebut Obat
Generik Berlogo (OGB). Selain itu, industri farmasi juga dapat mendaftarkan obat
generik tersebut dengan nama dagang sesuai UU No 14, tahun 2001 tentang merek,
dan inilah yang dikenal sebagai branded generic (obat generik dengan
nama dagang). Jadi sebenarnya obat ini tetap merupakan obat generik, namun
diberi merek sehingga mestinya disebut sebagai Obat Generik Bermerek (OGM). Contohnya
adalah Amoksil®, yang mengandung Amoksisilin.
Kenyataannya di tengah masyarakat
justru berkembang persepsi bahwa obat generik bermerek ini merupakan ”obat
paten”. Suatu persepsi yang sangat keliru tapi sudah dianggap sebagai suatu pembenaran.
Buktinya, memang tidak ada yang menyanggahnya termasuk para tenaga medis sendiri.
Itulah sebabnya, kutipan berita di atas, membuktikan betapa penggunaan istilah
”obat paten” sungguh sudah mewabah atau sudah berdampak sistemik. Dikatakan berdampak sistemik, karena memang pemakain
istilah ini sudah sangat meluas, tidak terkecuali oleh tenaga medis sekalipun.
Obat generik bermerek karena mengunakan
merek tertentu, maka dapat dilindungi mereknya sebagai hak merek dan terdaftar
di Direktorat Paten. Ini kemungkinan penyebab kenapa obat ini sering disamakan
dengan ”obat paten”. Akan tetapi, istilah paten ini dikonotasikan dengan makna
lain yaitu sesuatu yang paling baik, manjur, berkualitas dan lain sebagainya. Gencarnya
iklan obat generik bermerek dimedia cetak dan elektronik yang cendrung
menyesatkan, membuat obat ini semakin dikenal masyarakat sebagai ”obat paten”
dengan pengertian di atas sehingga makin menambah kaburnya makna obat generik
bermerek yang sejatinya juga adalah obat generik bukan obat paten.
Persepsi yang sangat keliru ini berbuah
kepada semakin terpojoknya posisi obat generik berlogo. Obat generik berlogo ini
sendiri malah dicap sebagai obat kelas dua, obat puskesmas, obat
untuk masyarakat miskin, obat tidak bergengsi, obat curah dan obat dengan mutu
yang tidak terjamin dan tidak ampuh. Fenomena ini sungguh sangat
memprihatinkan. Tanpa disadari, hampir kebanyakan kita mulai dari orang
terdidik sampai kepada masyarakat awam, dari orang dewasa sampai kepada anak
kecil dan dari kota sampai ke pelosok desa kita sudah terjebak dengan pengaburan
makna obat generik ini. Beginilah nasib
obat generik berlogo, tidak dilirik dan mulai terpojok sementara obat generik bermerek semakin disanjung.
Padahal banyak riset membuktikan, mutu obat generik berlogo tidak kalah
dibandingkan dengan obat generik bermerek, bahkan beberapa diantaranya ternyata
lebih unggul.
Data dari Pusat
Komunikasi Publik, Kemenkes, menunjukkan bahwa market share produk obat
generik berlogo sangat rendah dimana pada tahun 2005 hanya sebesar 10,70% dan
kemudian cendrung turun menjadi 7,20% tahun 2009 meskipun pasar obat nasional
naik. Rendahnya penggunaan obat generik
berlogo ini menunjukkan ada
yang salah selama ini dalam menjelaskan tentang obat generik berlogo. Sosialisasi
yang selama ini dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak begitu membuahkan
hasil.
Kondisi seperti ini mendorong
pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan membuat program revitalisasi penggunaan
obat generik berlogo sebagai salah satu program 100 hari kerjanya. Revitalisasi
penggunaan obat generik berlogo yang saat ini tengah dilakukan pastilah akan
bernasib sama jika akar permasalahan dalam penggunan obat generik ini tidak
tersentuh. Lantas apa akar dari permasalahan ini semua? Jawabannya
tidak lain adalah persepsi keliru
masyarakat terkait obat generik ini. Oleh sebab itu dalam program
revitalisasi ini perlu suatu upaya dan
terobosan lain yang lebih komprehensif agar persepsi keliru ini dapat terkikis
habis dari pola pikir masyarakat. Selagi persepsi keliru ini masih ada, maka
bagaimana pun bentuk program yang dilakukan oleh Pemerintah tidaklah akan
memberikan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, upaya yang paling tepat
sekarang dilakukan adalah bagimana menanamkan kembali pengetahuan yang benar
tentang obat generik kepada masyarakat. Jika ini terwujud, maka pasien yang
selama ini di depan dokter sebagai objek penderita yang betul-betul menderita
dan tidak tahu apa-apa dengan obat lambat laun akan berubah menjadi
kritis. Pada akhirnya, akan timbul
kesadaran sendiri dari masyarakat untuk menggunakan obat generik berlogo
sebagai salah satu tindakan cerdas terutama dimasa perekonomian yang sulit
seperti saat ini. Apalagi biaya obat merupakan biaya
terbesar yaitu sekitar 60% dari total biaya pengobatan, sehingga dengan
menggunakan obat generik berlogo akan menghemat
pengeluaran.
Selain itu, peran dokter sebagai ujung
tombak dalam sistem pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan terutama kedisiplinan
dalam menerapkan aturan yang mewajibkan dokter pemerintah untuk memberikan obat
generik dalam penulisan resepnya sesuai dengan Permenkes
No. HK.02.02/Menkes/068/I/2010. Dengan hanya menulis obat
generik berlogo, berarti dokter tidak lagi menjadi media promosi gratis bagi
produsen obat. Selain itu, penulisan obat generik ini secara tidak langsung
memberikan kepercayaan kepada masyarkat untuk menentukan pilihan obat yang
dipakai sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya.
Hal terpenting lainnya adalah perlunya
aturan yang mewajibkan penulisan istilah obat generik bermerek dalam setiap
kemasan obat generik bermerek ini, sehingga tidak mengaburkan maknanya yang
sesungguhnya juga adalah obat generik. Dari segi harga, obat generik berlogo
ditetapkan oleh Pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat. Harga obat generik
berlogo lebih ekonomis berhubung biaya iklan/promosi tidak sebesar obat generik
bermerek. Sementara obat generik bermerek dijual oleh industri yang
memproduksinya dengan biaya lain-lain (termasuk biaya iklan/pomosi) yang
kemudian harus ditanggung oleh konsumen/pasien.
”Emang kita makan mereknya...?”
Demikian bunyi iklan obat generik berlogo yang pernah ditayangkan di media
elektronik. Jadi, masih maukah kita menjadi korban dari iklan ”obat
paten”?