Sabtu, 27 Agustus 2016

APOTEKER CILIK

Poster program APOCIL dalam kegiatan IbM DIKTI 2015


Penyerahan hadiah pemenang lomba menggambar

Foto bersama dengan Ketua Umum PP IAI Bapak Nurul Falah, Dekan Farmasi Unand Bapak Prof Dr Helmi Arifin saat lomba menggambar bagi apoteker cilik dalam rangka Rakernas dan PIT IAI 10 Mei 2015 di Bukittiggi

Pelatihan apocil di SD 08 Marunggi, 18 April 2015

Pelatihan apocil di SD 08 Marunggi, 2 Mei 2015

Artikel : Obat Bermerek Bukan Berarti Obat Paten

OBAT BERMEREK BUKAN BERARTI OBAT PATEN
(Syofyan, Dosen Fakultas Farmasi Unand)

            “ Program Jamkesmas tujuan utamanya membebaskan pasien miskin dari segala bentuk biaya pelayanan dan pengobatan. Jika pada kasus tertentu pasien harus menggunakan obat di luar pedoman Jamkesmas, pihak rumah sakit tetap menyediakan obat tersebut. …hanya saja penggunaan obat paten tersebut berdasarkan kebutuhan pasien yang diresepkan dokter….“
“…banyak masyarakat yang tidak mengetahui banyak obat paten yang bisa ditukar dengan obat generik….”  (Padang Ekpres, 4 Maret 2010, hal. 15).
Jika dibaca sekilas, memang tidak ada yang salah dari penggalan pernyataan yang diungkapkan oleh narasumber yang menjelaskan tentang  Jamkesmas dan ketersediaan obat generik ini. Namun jika dipahami secara keseluruhan dari konteks pernyataan di atas,  sebenarnya ada sesuatu yang keliru disini yaitu menyangkut penggunaan istilah “obat paten”. Kelihatannya memang sepele, tapi mempunyai dampak luar biasa terutama bagi masyarakat awam. Lantas apa yang salah dengan istilah “obat paten” ini?
Secara umum, obat  dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu obat paten dan obat generik. Obat paten/innovator, yaitu obat dengan zat aktif pertama ditemukan oleh suatu industri farmasi. Obat ini dilindungi oleh hak paten sampai masa patennya expired. Menurut ketentuan perundang-undangan, obat paten yang sudah habis masa berlakunya dinyatakan sebagai obat generik. Obat generik biasanya menggunakan tata nama resmi kimia dari Farmakope dan ini disebut obat generik, contohnya Amoxicillin dari Indofama, Kimia Farma dan Phapros. Untuk menyatakan bahwa obat generik tersebut diproduksi oleh pabrik obat yang sudah mendapatkan sertifikat Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) maka dalam penandaannya diberi logo khusus. Logo ini sekaligus menyatakan bahwa obat tersebut sudah terjamin mutunya. Obat generik seperti ini sering disebut Obat Generik Berlogo (OGB). Selain itu, industri farmasi juga dapat mendaftarkan obat generik tersebut dengan nama dagang sesuai UU No 14, tahun 2001 tentang merek, dan inilah yang dikenal sebagai branded generic (obat generik dengan nama dagang). Jadi sebenarnya obat ini tetap merupakan obat generik, namun diberi merek sehingga mestinya disebut sebagai Obat Generik Bermerek (OGM). Contohnya adalah Amoksil®,  yang  mengandung Amoksisilin.
Kenyataannya di tengah masyarakat justru berkembang persepsi bahwa obat generik bermerek ini merupakan ”obat paten”. Suatu persepsi yang sangat keliru tapi sudah dianggap sebagai suatu pembenaran. Buktinya, memang tidak ada yang menyanggahnya termasuk para tenaga medis sendiri. Itulah sebabnya, kutipan berita di atas, membuktikan betapa penggunaan istilah ”obat paten” sungguh sudah mewabah atau sudah berdampak sistemik. Dikatakan berdampak sistemik, karena memang pemakain istilah ini sudah sangat meluas, tidak terkecuali oleh tenaga medis sekalipun.
Obat generik bermerek karena mengunakan merek tertentu, maka dapat dilindungi mereknya sebagai hak merek dan terdaftar di Direktorat Paten. Ini kemungkinan penyebab kenapa obat ini sering disamakan dengan ”obat paten”. Akan tetapi, istilah paten ini dikonotasikan dengan makna lain yaitu sesuatu yang paling baik, manjur, berkualitas dan lain sebagainya. Gencarnya iklan obat generik bermerek dimedia cetak dan elektronik yang cendrung menyesatkan, membuat obat ini semakin dikenal masyarakat sebagai ”obat paten” dengan pengertian di atas sehingga makin menambah kaburnya makna obat generik bermerek yang sejatinya juga adalah obat generik bukan obat paten. 
Persepsi yang sangat keliru ini berbuah kepada semakin terpojoknya posisi obat generik berlogo. Obat generik berlogo ini sendiri malah dicap sebagai obat kelas dua, obat puskesmas, obat untuk masyarakat miskin, obat tidak bergengsi, obat curah dan obat dengan mutu yang tidak terjamin dan tidak ampuh. Fenomena ini sungguh sangat memprihatinkan. Tanpa disadari, hampir kebanyakan kita mulai dari orang terdidik sampai kepada masyarakat awam, dari orang dewasa sampai kepada anak kecil dan dari kota sampai ke pelosok desa kita sudah terjebak dengan pengaburan makna obat generik ini.  Beginilah nasib obat generik berlogo, tidak dilirik dan mulai terpojok sementara  obat generik bermerek semakin disanjung. Padahal banyak riset membuktikan, mutu obat generik berlogo tidak kalah dibandingkan dengan obat generik bermerek, bahkan beberapa diantaranya ternyata lebih unggul.
Data dari Pusat Komunikasi Publik, Kemenkes, menunjukkan bahwa market share produk obat generik berlogo sangat rendah dimana pada tahun 2005 hanya sebesar 10,70% dan kemudian cendrung turun menjadi 7,20% tahun 2009 meskipun pasar obat nasional naik. Rendahnya penggunaan obat generik berlogo  ini menunjukkan ada yang salah selama ini dalam menjelaskan tentang obat generik berlogo. Sosialisasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak begitu membuahkan hasil.
Kondisi seperti ini mendorong pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan membuat program revitalisasi penggunaan obat generik berlogo sebagai salah satu program 100 hari kerjanya. Revitalisasi penggunaan obat generik berlogo yang saat ini tengah dilakukan pastilah akan bernasib sama jika akar permasalahan dalam penggunan obat generik ini tidak tersentuh. Lantas apa akar dari permasalahan ini semua? Jawabannya tidak lain  adalah persepsi keliru masyarakat terkait obat generik ini. Oleh sebab itu dalam program revitalisasi ini  perlu suatu upaya dan terobosan lain yang lebih komprehensif agar persepsi keliru ini dapat terkikis habis dari pola pikir masyarakat. Selagi persepsi keliru ini masih ada, maka bagaimana pun bentuk program yang dilakukan oleh Pemerintah tidaklah akan memberikan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, upaya yang paling tepat sekarang dilakukan adalah bagimana menanamkan kembali pengetahuan yang benar tentang obat generik kepada masyarakat. Jika ini terwujud, maka pasien yang selama ini di depan dokter sebagai objek penderita yang betul-betul menderita dan tidak tahu apa-apa dengan obat lambat laun akan berubah menjadi kritis.  Pada akhirnya, akan timbul kesadaran sendiri dari masyarakat untuk menggunakan obat generik berlogo sebagai salah satu tindakan cerdas terutama dimasa perekonomian yang sulit seperti saat ini. Apalagi biaya obat merupakan biaya terbesar yaitu sekitar 60% dari total biaya pengobatan, sehingga dengan menggunakan obat generik berlogo akan menghemat  pengeluaran. 
Selain itu, peran dokter sebagai ujung tombak dalam sistem pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan terutama kedisiplinan dalam menerapkan aturan yang mewajibkan dokter pemerintah untuk memberikan obat generik dalam penulisan resepnya sesuai dengan Permenkes No. HK.02.02/Menkes/068/I/2010.  Dengan hanya menulis obat generik berlogo, berarti dokter tidak lagi menjadi media promosi gratis bagi produsen obat. Selain itu, penulisan obat generik ini secara tidak langsung memberikan kepercayaan kepada masyarkat untuk menentukan pilihan obat yang dipakai sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya.
Hal terpenting lainnya adalah perlunya aturan yang mewajibkan penulisan istilah obat generik bermerek dalam setiap kemasan obat generik bermerek ini, sehingga tidak mengaburkan maknanya yang sesungguhnya juga adalah obat generik. Dari segi harga, obat generik berlogo ditetapkan oleh Pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat. Harga obat generik berlogo lebih ekonomis berhubung biaya iklan/promosi tidak sebesar obat generik bermerek. Sementara obat generik bermerek dijual oleh industri yang memproduksinya dengan biaya lain-lain (termasuk biaya iklan/pomosi) yang kemudian harus ditanggung oleh konsumen/pasien.
”Emang kita makan mereknya...?” Demikian bunyi iklan obat generik berlogo yang pernah ditayangkan di media elektronik. Jadi, masih maukah kita menjadi korban dari iklan ”obat paten”?





Metode Pembelajaran Segitiga Aktif Syofyan



 METODE PEMBELAJARAN
SEGITIGA AKTIF SYOFYAN


I.         PENDAHULUAN

Metode Student Centre Learning (SCL) merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan di kelas yang menuntut peran aktif yang lebih banyak dari mahasiswa. Dosen lebih berfungsi sebagai fasilitator yang membantu mahasiswa mengarahkan proses pembelajaran. Banyak cara pendekatan yang dilakukan dengan metode SCL ini. Salah satunya adalah dengan metode SEGITIGA AKTIF ini yang cocok dilakukan pada kelas dengan jumlah mahasiswa yang cukup banyak. Dalam metode ini mahasiswa dikelompokkan ke dalam 3 kelompok besar dan setiap mahasiswa/kelompok diberikan suatu skenario berupa problem atau masalah yang aktual di lapangan kerja sehingga diharapkan mahasiswa lebih tertarik dan memiliki motivasi tinggi dalam jalannya proses pembelajaran

II.      PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

2.1.   SEGITIGA AKTIF MODEL 1

Model ini diberikan jika tiap topik pembelajaran di kelas hanya diberikan oleh 1 orang dosen.

Biasanya tiap matakuliah diasuh oleh 2-3 orang dosen sehingga tiap orang dosen bisa masuk kelas 6-7 kali pertemuan jika timnya 2 orang atau 5 kali pertemuan jika timnya 3 orang. Untuk matakuliah yang diasuh oleh hanya 1 orang dosen, maka otomatis dosen masuk kelas sebanyak 12-16 kali pertemuan.

Tiap topik pembelajaran untuk tiap pertemuan, wajib dibagi lagi atas 3 subtopik yang berbeda. Misalnya, topik pertemuan saat ini adalah uji stabilitas, maka subtopik untuk tiap kelompok adalah sbb: kelompok A uji stabilitas sediaan padat (tablet), kelompok B uji stabilitas sediaan cair (suspensi) dan kelompok C uji stabilitas sediaan semipadat (krim).

Tiap subtopik diuraikan dalam bentuk skenario kasus beserta pertanyaan-pertanyaan kunci yang mengarah kepada learning objective (LO) yang diharapkan pada topik pembelajaran



  1. TAHAP-TAHAP PEMBELAJARAN
1.  Sebelum Pembelajaran

a.  Mahasiswa dalam tiap kelas dibagi atas tiga kelompok besar (A, B dan C) berdasarkan urutan nomor absen kuliah. Misalnya, jika jumlah mahasiswa 60 orang, maka mahasiswa nomor urut absen 1 s/d 20 tergabung dalam kelompok A, nomor urut absen 21 s/d 40 masuk kelompok B, sisanya kelompok C. Tiap mahasiswa wajib membuat kokarde yang berisi No. Urut absen dan nama panggilan yang bisa dibaca dengan jelas.
b.  Tiap pembelajaran, masing-masing kelompok membawa kokarde, kertas chart (dari bahan seperti koran) sebanyak 2-3 lembar, spidol permanen dan lakban, Form 1, 2, 3 dan 4 serta map plastik.
c.   Tiap mahasiswa wajib mempelajari dan mengerjakan tugas-tugas yang terdapat pada skenario kasus yang telah diberikan sebelum pembelajaran dimulai sesuai topik pembelajaran.
d.  Tiap kelompok telah menetapkan 1 ketua, 2 presenter dan 2 co presenter untuk tiap topik pembelajaran. Ketua, presenter dan co presenter ini harus orang yang berbeda sehingga semua anggota kelompok dapat kesempatan yang sama secara bergiliran. Presenter bertugas mempresentasikan subtopik pembelajaran yang ditulis pada kertas chart dan co-presenter bertugas memimpin diskusi kelompok serta mencatat nama dan pertanyaan penanya pada sesi diskusi  antar kelompok serta membantu presenter menjawab pertanyaan.

2. Saat Pembelajaran

a.  Sesi I, diskusi dalam kelompok (30 menit)
1)  Mahasiswa duduk per kelompok A, B atau C.
Sebelum diskusi dimulai, mahasiswa mengisi absen sesuai form 1 dan menyerahkan lembaran pengamatan aktivitas mahasiswa form 4 kepada dosen
2)  Ketua kelompok memimpin diskusi dalam kelompok masing-masing sesuai sub topik yang diperoleh.
3)  Hasil diskusi dituangkan dalam lembar kertas chart dalam bentuk peta konsep yang diharapkan dapat menjawab LO topik pembelajaran
4)  Selama diskusi dalam kelompok, dosen mengamati secara seksama jalannya diskusi, membantu meluruskan arah diskusi sesuai LO serta memberikan catatan atau penilaian sesuai rubrik penilaian (form 4) yang menjadi bahan bagai dosen untuk disampaikan saat diskusi pleno.

b.  Sesi II, diskusi antar kelompok (2 x 25 menit)
1)   Kertas chart ditempel didinding kelas dekat kelompok yang dituju berada
2)   Diskusi Putaran 1
a)  Tiap anggota kelompok tetap duduk di kelompok masing-masing seperti saat diskusi dalam kelompok sesi I.
b) Presenter 1 dan co-presenter 1 kelompok A menuju kelompok B, Presenter 1 dan co-presenter 1 kelompok B menuju kelompok C, dan Presenter 1 dan co-presenter 1 kelompok C menuju kelompok A.
c)  Diskusi dipimpin oleh co presenter yang dimulai dengan presentasi oleh presenter 1 tiap kelompok. Misalnya presenter 1 kelompok A memaparkan kertas chart kelompoknya kepada anggota kelompok B dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Co presenter 1 mencatat nama dan pertanyaan penanya dan dijawab oleh presenter dibantu oleh co-presenter 1.
Format catatan diskusi seperti pada Form 2.


d)  Selesai diskusi, presenter 1 dan co-presenter 1 bergabung kembali dengan kelompok masing-masing
e)  Kelompok melakukan penilaian terhadap penampilan/presentasi presenter/co presenter kelompok lain dengan menggunakan Form 3
f)   Selama diskusi berlangsung dosen juga melakukan pengamatan dan mencatat hasil pengamatan dalam Form 4

3)  Diskusi Putaran 2
a)  Anggota kelompok tetap duduk di kelompok masing-masing
b)  Presenter 2 dan co-presenter 2 kelompok A menuju kelompok C, Presenter 2 dan co-presenter 2 kelompok B menuju kelompok A dan Presenter 2 dan co-presenter 2  kelompok C menuju kelompok B.
c)  Diskusi dimulai dan dilakukan kembali seperti putaran 1 dan diakhiri juga dengan penilaian menggunakan Form 3 serta pengamatan menggunakan Form 4

c.  Sesi III, diskusi Kelas (20 menit)
1)   Semua dokumen Form 1, 2 dan 3 masing-masing kelompok dikumpul di map kelompok masing-masing dan diserahkan kepada dosen
2)   Dosen memimpin diskusi kelas dengan terlebih dahulu memberikan evaluasi atau review terhadap jalannya diskusi kelompok sehingga pada pertemuan berikutnya terjadi perbaikan diskusi yang lebih baik
3)   Selanjutnya dosen memberikan rangkuman secara umum terhadap pokok bahasan/topik pembelajaran dan menjelaskan apakah diskusi sudah sesuai dengan LO yang telah ditetapkan. Jika memungkinkan, dosen dapat meluruskan atau menjelaskan kembali hal-hal yang terkait pembahasan skenario berdasarkan catatan dosen di Form 4.
4)   Diakhir pembelajaran, dosen menyampaikan topik untuk pertemuan berikutnya atau memberikan tugas mandiri kepada mahasiswa sesuai topik pembelajaran


2.2.   SEGITIGA AKTIF MODEL 2 (PALING IDEAL)

Model ini diberikan jika tiap topik pembelajaran di kelas diberikan oleh 3 orang dosen dimana tiap kelompok wajib didampingi oleh 1 orang dosen.

Metode ini mewajibkan matakuliah diasuh oleh minimal 3 orang dosen. Pelaksanaan metode ini bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1)  Tiap kali pertemuan (14-16 kali pertemuan) ke-3 orang dosen harus masuk kelas.
2)  Jumlah total pertemuan dikurangi dari 14-16 kali pertemuan menjadi 5 – 6 kali pertemuan saja, tapi topik pembelajaran yang dipadatkan.
Artinya, pada cara yang kedua ini, tiap kali pertemuan wajib membahas 3 topik pembelajaran misalnya topik pengembangan metode analisis, uji stabilitas dan uji ekivalen. Cara ini lebih efektif karena tiap dosen hanya masuk 5 kali pertemuan saja jika jumlah dosen 3 orang atau masuk 4 kali pertemuan jika jumlah dosen 4 orang. Jika memungkinkan, lama pertemuan diperpanjang menjadi 2 x 60 menit (120 menit) dengan alokasi waktu 30 menit diskusi dalam kelompok sesi I, 2 x 30 menit diskusi antar kelompok sesi II dan 30 menit diskusi kelas

Secara umum, pelaksanaaan pembelajaran hampir sama dengan model 1 di atas. Bedanya kalau pada model 1, 3 kelompok didampingi oleh hanya oleh 1 orang dosen, maka pada modek 2 ini tiap kelompok didampingi oleh 1 orang dosen sehingga pengamatan dan penilaian kepada individu mahasiswa lebih objektif dan diskusi kelompok akan lebih terarah dan mendalam.

Pada saat diskusi dalam kelompok pada sesi I, dosen langsung duduk di kelompok masing-masing yang telah ditetapkan. Misalnya, dosen ke-1 di kelompok A, dosen ke-2 dikelompok B dan dosen ke-3 dikelompok C. Tiap dosen bertindak seagai fasilitator dan mencatat aktivitas mahasiswa dalam form 4.

Sedangkan pada saat diskusi antar kelompok pada sesi II, dosen juga ikut berpindah ke kelompok lain mengikuti perjalanan presenter dan co presenter kelompoknya. Misalnya pada putaran I, dosen ke-1 di kelompok A menuju kelompok B bersama dengan presenter dan co presenter kelompok A. Begitu juga dosen ke-2 kelompok B ke kelompok C, dan seterusnya. Tujuan dari ikutnya dosen berpindah ke kelompok lain adalah untuk ikut membantu mengarahkan atau memperjelas subtopik yang dibahas agar LO pembelajaran tetap tercapai.

Terakhir saat diskusi pleno atau kelas, ketiga dosen secara bergiliran memberikan review terhadap jalannya diskusi dan hal-hal terkait pencapaian LO tiap subtopik pembelajaran.


III.   ASESMEN
ASPEK
URAIAN
Prosedur
Penilaian dilakukan oleh dosen baik dalam bentuk formatif maupun dalam bentuk sumatif baik selama pembelajaran berlangsung (proses) maupun pada saat ujian akhir

Alat
1.   Tugas mandiri
2.   Peta konsep
3.   Dokumen diskusi kelompok (Form 1 dan 2)
4.   Lembaran Penilaian Kelompok (Form 3)
5.   Lembaran catatan mahasiswa/soft skills (Form 4)
6.   Soal ujian tertulis (ujian akhir)

Komponen
Komponen penilaian terdiri atas:
1.   Penilaian proses
a.    Kehadiran dan Kedisipilinan (10%) à Form 1
b.    Tugas mandiri (15%) à LKM, Peta konsep
c.    Diskusi kelompok/kelas (20%) àForm 2 dan 3
d.    Soft skills meliputi kepemimpinan, tanggung jawab, kerjasama, sikap dan komunikasi (15%) àForm 4
2.   Penilaian hasil
a.    Ujian (40%)


  
Lampiran 1. Form 1 Daftar hadir kelompok

DAFTAR HADIR KELOMPOK
PEMBELAJARAN INDUSTRI FARMASI

A. JADWAL PELAKSANAAN KULIAH
PERTEMUAN KE

TOPIK KE

HARI/TANGGAL

PUKUL


B. IDENTITAS KELOMPOK
KELAS

KELOMPOK

KETUA KELOMPOK

DOSEN


C. DAFTAR HADIR
No
No. Urut Absen
No. BP
Nama
Tanda Tangan
1




2




3




4




5




6




4




5




6




7




8




9




10




11




12




13




14




15




16




17




18




19




20






Lampiran 2. Form 2 Lembar Catatan Pertanyaan

Lembar Catatan Pertanyaan

A. JADWAL PELAKSANAAN KULIAH
TOPIK

HARI/TANGGAL

KELOMPOK
(Tempat presentasi)


B. IDENTITAS PRESENTER DAN COPRESENTER (nama dan no. Urut absen)
KELOMPOK
(Kelompok asal)

PRESENTER

COPRESENTER


C. CATATAN PERTANYAAN (Nama penanya dan pertanyaan)





























Lampiran 3. Form 3 Lembar Penilaian Kelompok oleh Mahasiswa

Lembar Penilaian Kelompok

A. JADWAL PELAKSANAAN KULIAH
TOPIK

HARI/TANGGAL

KELOMPOK PENILAI


B. IDENTITAS PRESENTER DAN COPRESENTER (nama dan no. Urut absen)
KELOMPOK

PRESENTER

COPRESENTER


C. RUBRIK PENILAIAN

No
Aspek Penilaian
Skor Nilai
Baik sekali
5
Baik

4
Agak baik/Cukup
3
Kurang

2
Kurang sekali/Rendah
1
A Presenter
1
Penguasaan materi





2
Sikap





3
Komunikasi





B Peta Konsep
4
Kerapian dan daya tarik





5
Kejelasan konsep





Total Skor (TS)


Nilai Angka (Konversi) = TS/25 x 100



CATATAN:












Lampiran 4. Form 4 Lembar Catatan Aktivitas Mahasiswa oleh Dosen
Lembar Catatan Aktivitas Mahasiswa

A. JADWAL PELAKSANAAN KULIAH
TOPIK

HARI/TANGGAL

KELOMPOK


B. IDENTITAS PRESENTER DAN COPRESENTER
PRESENTER 1

PRESENTER 2

COPRESENTER 1

COPRESENTER 2


C. CATATAN PENGAMATAN (SOFT SKILLS)

No Urut Absen
Nama Mahasiswa
Aspek Pengamatan (Diberi skor 1 – 5)
Kepemimpinan
Tanggung jawab
Kerjasama
Sikap
Komunikasi












































































































































Keterangan:
5 : baik sekali, 4 : baik, 3 : agak baik, sedang (cukup), 2 : kurang, 1 : kurang sekali (rendah)






CATATAN (termasuk nilai peta konsep kelompok):
















































NAMA DOSEN DAN TANDA TANGAN: