Sabtu, 27 Agustus 2016

Artikel : Obat Bermerek Bukan Berarti Obat Paten

OBAT BERMEREK BUKAN BERARTI OBAT PATEN
(Syofyan, Dosen Fakultas Farmasi Unand)

            “ Program Jamkesmas tujuan utamanya membebaskan pasien miskin dari segala bentuk biaya pelayanan dan pengobatan. Jika pada kasus tertentu pasien harus menggunakan obat di luar pedoman Jamkesmas, pihak rumah sakit tetap menyediakan obat tersebut. …hanya saja penggunaan obat paten tersebut berdasarkan kebutuhan pasien yang diresepkan dokter….“
“…banyak masyarakat yang tidak mengetahui banyak obat paten yang bisa ditukar dengan obat generik….”  (Padang Ekpres, 4 Maret 2010, hal. 15).
Jika dibaca sekilas, memang tidak ada yang salah dari penggalan pernyataan yang diungkapkan oleh narasumber yang menjelaskan tentang  Jamkesmas dan ketersediaan obat generik ini. Namun jika dipahami secara keseluruhan dari konteks pernyataan di atas,  sebenarnya ada sesuatu yang keliru disini yaitu menyangkut penggunaan istilah “obat paten”. Kelihatannya memang sepele, tapi mempunyai dampak luar biasa terutama bagi masyarakat awam. Lantas apa yang salah dengan istilah “obat paten” ini?
Secara umum, obat  dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu obat paten dan obat generik. Obat paten/innovator, yaitu obat dengan zat aktif pertama ditemukan oleh suatu industri farmasi. Obat ini dilindungi oleh hak paten sampai masa patennya expired. Menurut ketentuan perundang-undangan, obat paten yang sudah habis masa berlakunya dinyatakan sebagai obat generik. Obat generik biasanya menggunakan tata nama resmi kimia dari Farmakope dan ini disebut obat generik, contohnya Amoxicillin dari Indofama, Kimia Farma dan Phapros. Untuk menyatakan bahwa obat generik tersebut diproduksi oleh pabrik obat yang sudah mendapatkan sertifikat Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) maka dalam penandaannya diberi logo khusus. Logo ini sekaligus menyatakan bahwa obat tersebut sudah terjamin mutunya. Obat generik seperti ini sering disebut Obat Generik Berlogo (OGB). Selain itu, industri farmasi juga dapat mendaftarkan obat generik tersebut dengan nama dagang sesuai UU No 14, tahun 2001 tentang merek, dan inilah yang dikenal sebagai branded generic (obat generik dengan nama dagang). Jadi sebenarnya obat ini tetap merupakan obat generik, namun diberi merek sehingga mestinya disebut sebagai Obat Generik Bermerek (OGM). Contohnya adalah Amoksil®,  yang  mengandung Amoksisilin.
Kenyataannya di tengah masyarakat justru berkembang persepsi bahwa obat generik bermerek ini merupakan ”obat paten”. Suatu persepsi yang sangat keliru tapi sudah dianggap sebagai suatu pembenaran. Buktinya, memang tidak ada yang menyanggahnya termasuk para tenaga medis sendiri. Itulah sebabnya, kutipan berita di atas, membuktikan betapa penggunaan istilah ”obat paten” sungguh sudah mewabah atau sudah berdampak sistemik. Dikatakan berdampak sistemik, karena memang pemakain istilah ini sudah sangat meluas, tidak terkecuali oleh tenaga medis sekalipun.
Obat generik bermerek karena mengunakan merek tertentu, maka dapat dilindungi mereknya sebagai hak merek dan terdaftar di Direktorat Paten. Ini kemungkinan penyebab kenapa obat ini sering disamakan dengan ”obat paten”. Akan tetapi, istilah paten ini dikonotasikan dengan makna lain yaitu sesuatu yang paling baik, manjur, berkualitas dan lain sebagainya. Gencarnya iklan obat generik bermerek dimedia cetak dan elektronik yang cendrung menyesatkan, membuat obat ini semakin dikenal masyarakat sebagai ”obat paten” dengan pengertian di atas sehingga makin menambah kaburnya makna obat generik bermerek yang sejatinya juga adalah obat generik bukan obat paten. 
Persepsi yang sangat keliru ini berbuah kepada semakin terpojoknya posisi obat generik berlogo. Obat generik berlogo ini sendiri malah dicap sebagai obat kelas dua, obat puskesmas, obat untuk masyarakat miskin, obat tidak bergengsi, obat curah dan obat dengan mutu yang tidak terjamin dan tidak ampuh. Fenomena ini sungguh sangat memprihatinkan. Tanpa disadari, hampir kebanyakan kita mulai dari orang terdidik sampai kepada masyarakat awam, dari orang dewasa sampai kepada anak kecil dan dari kota sampai ke pelosok desa kita sudah terjebak dengan pengaburan makna obat generik ini.  Beginilah nasib obat generik berlogo, tidak dilirik dan mulai terpojok sementara  obat generik bermerek semakin disanjung. Padahal banyak riset membuktikan, mutu obat generik berlogo tidak kalah dibandingkan dengan obat generik bermerek, bahkan beberapa diantaranya ternyata lebih unggul.
Data dari Pusat Komunikasi Publik, Kemenkes, menunjukkan bahwa market share produk obat generik berlogo sangat rendah dimana pada tahun 2005 hanya sebesar 10,70% dan kemudian cendrung turun menjadi 7,20% tahun 2009 meskipun pasar obat nasional naik. Rendahnya penggunaan obat generik berlogo  ini menunjukkan ada yang salah selama ini dalam menjelaskan tentang obat generik berlogo. Sosialisasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak begitu membuahkan hasil.
Kondisi seperti ini mendorong pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan membuat program revitalisasi penggunaan obat generik berlogo sebagai salah satu program 100 hari kerjanya. Revitalisasi penggunaan obat generik berlogo yang saat ini tengah dilakukan pastilah akan bernasib sama jika akar permasalahan dalam penggunan obat generik ini tidak tersentuh. Lantas apa akar dari permasalahan ini semua? Jawabannya tidak lain  adalah persepsi keliru masyarakat terkait obat generik ini. Oleh sebab itu dalam program revitalisasi ini  perlu suatu upaya dan terobosan lain yang lebih komprehensif agar persepsi keliru ini dapat terkikis habis dari pola pikir masyarakat. Selagi persepsi keliru ini masih ada, maka bagaimana pun bentuk program yang dilakukan oleh Pemerintah tidaklah akan memberikan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, upaya yang paling tepat sekarang dilakukan adalah bagimana menanamkan kembali pengetahuan yang benar tentang obat generik kepada masyarakat. Jika ini terwujud, maka pasien yang selama ini di depan dokter sebagai objek penderita yang betul-betul menderita dan tidak tahu apa-apa dengan obat lambat laun akan berubah menjadi kritis.  Pada akhirnya, akan timbul kesadaran sendiri dari masyarakat untuk menggunakan obat generik berlogo sebagai salah satu tindakan cerdas terutama dimasa perekonomian yang sulit seperti saat ini. Apalagi biaya obat merupakan biaya terbesar yaitu sekitar 60% dari total biaya pengobatan, sehingga dengan menggunakan obat generik berlogo akan menghemat  pengeluaran. 
Selain itu, peran dokter sebagai ujung tombak dalam sistem pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan terutama kedisiplinan dalam menerapkan aturan yang mewajibkan dokter pemerintah untuk memberikan obat generik dalam penulisan resepnya sesuai dengan Permenkes No. HK.02.02/Menkes/068/I/2010.  Dengan hanya menulis obat generik berlogo, berarti dokter tidak lagi menjadi media promosi gratis bagi produsen obat. Selain itu, penulisan obat generik ini secara tidak langsung memberikan kepercayaan kepada masyarkat untuk menentukan pilihan obat yang dipakai sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya.
Hal terpenting lainnya adalah perlunya aturan yang mewajibkan penulisan istilah obat generik bermerek dalam setiap kemasan obat generik bermerek ini, sehingga tidak mengaburkan maknanya yang sesungguhnya juga adalah obat generik. Dari segi harga, obat generik berlogo ditetapkan oleh Pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat. Harga obat generik berlogo lebih ekonomis berhubung biaya iklan/promosi tidak sebesar obat generik bermerek. Sementara obat generik bermerek dijual oleh industri yang memproduksinya dengan biaya lain-lain (termasuk biaya iklan/pomosi) yang kemudian harus ditanggung oleh konsumen/pasien.
”Emang kita makan mereknya...?” Demikian bunyi iklan obat generik berlogo yang pernah ditayangkan di media elektronik. Jadi, masih maukah kita menjadi korban dari iklan ”obat paten”?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar